Pertengahan Oktober 2025 ini diriuhkan dengan banyak sekali berita yang menurut saya, memilukan. Memilukan karena lagi-lagi muncul berita mengenai murid yang melaporkan pendidiknya akibat didikan yang diberikan kepadanya. Saya pikir berita macam ini tidak akan muncul lagi setelah beberapa tahun silam. Ternyata, di zaman yang katanya penuh dengan keterbukaan informasi dan pikiran karena tersedianya ribuan platform
kecerdasan buatan, justru menutup akal dan hati sang pengguna dalam menerima makna pendidikan, terlebih lagi karena kenakalan yang seharusnya memang pantas untuk diluruskan. Ya, saya sedang membahas soal seorang
Siswa SMA 1 Cimaraga yang ditampar saat tertangkap basah sedang merokok di sekolah oleh Kepala Sekolah. Bukan, bukan Kepala Sekolah, tetapi Guru, Pendidik. Lebih gongnya lagi, teman-teman satu sekolahnya membela Siswa perokok tersebut! Kok bisa?
Ada beberapa poin dalam pikiran yang ingin saya keluarkan pada tulisan kali ini yaitu:
- Merokok, apakah salah? Bagaimana dengan seorang siswa merokok di sekolah?
- Menampar, apakah dapat dibenarkan? Bagaimana dengan Guru yang menampar Muridnya?
- Solidaritas yang sesat
- Akibat (ini bagian yang menurut saya paling seru. Efek dominonya ke mana-mana)
Merokok, apakah salah? Bagaimana dengan seorang siswa merokok di sekolah?
Kita semua pasti sudah paham apa itu merokok. Merokok sering kali dilakukan untuk merilekskan pikiran. Katanya, setiap masalah dalam kepala akan hilang seiring tarikan dan hembusan asap tembakau. Dikaji dari sudut pandang Islam, merokok dihukumi sebagai aktivitas yang
makruh bahkan ada yang mengharamkan karena beberapa pertimbangan. Misalnya, merokok ini adalah aktivitas yang sebenarnya sia-sia karena sudahlah "membakar uang", juga berdampak negatif pada kesehatan. Bukan hanya kesehatan diri sendiri, melainkan bisa juga orang lain yang terkena efeknya. Rasanya tak perlu saya panjang lebar menjelaskan soal hukum dan dampak negatif dari merokok ini. Kita semua tentu sudah paham dan sadar kan? Namun, kita juga tidak bisa serta merta melarang orang yang memang memutuskan untuk merokok. Itu hak mereka juga.
Akan tetapi, hal yang perlu tetap diingat adalah hak pribadi kita dibatasi oleh hak orang lain. Kita boleh saja merokok, tapi ingat, di mana tempatnya yang diperbolehkan? Yang berpotensi mengganggu orang lain? Di sekolah? Serius nih di sekolah? Sekolah itu tempat apa sih? Tempat belajar kan? Kok bisa-bisanya kamu merokok di sekolah? Aneh. Bikin geram. Di mal saja, kamu merokok, kamu diusir lho sama satpam. Apalagi di sekolah. Kamu di sekolah itu dikasih ilmu soal biologi, soal sistem pernapasan, dan tentunya Guru pasti akan menyinggung persoalan bagaimana jika benda asing seperti asap rokok masuk ke dalam organ paru-parumu, merusak alveolusmu. Okelah anggap saja kamu paham soal ini dan tetap menghisapnya. Tapi ya sudah, janganlah kamu melakukan hal yang bertentangan di tempat di mana kamu mendapatkan hal baik yang seharusnya dilakukan. Tidak etis.
Menampar, apakah dapat dibenarkan? Bagaimana dengan Guru yang menampar Muridnya?
Plak! aduh, sakit!
Kira-kira itu efek suara yang timbul ketika terjadi tamparan. Berasa kan? cuma tulisan loh. Tapi, kita bisa membayangkan bagaimana rasanya ketika pipi kita ditampar oleh orang lain. Apalagi kalau secara tiba-tiba, ada efek kejutnya juga. Hahaha.
Tampar menampar ini biasanya terjadi ketika ada perseteruan antar dua belah pihak. Satu pihak merasa benar, pihak yang lain dianggap salah besar. Maaf, tambah term & condition sedikit lagi, biasanya terjadi antara laki-laki dan perempuan, karena kalau antar lelaki sih biasanya langsung baku hantam aja ya. Hahaha. Oke. Cukup ketawa teksnya.
Menampar jelas salah. Apalagi kalau dilakukan pada orang yang kita tidak kenal, tidak ada buat masalah apapun, dan tidak seharusnya ditampar. "Jujur dia baek" kalau kata Bang Rico Grind Boys. Tetapi, dalam konteks ini, apakah Guru menampar Siswa itu salah?
Coba kita bayangkan saja ada di situasi tersebut ya. Mari gunakan empati dalam hati. Kita bayangkan menjadi Guru tersebut. Kita adalah guru yang berangkat pagi-pagi ke sekolah, memberikan ilmu dan didikan pada murid-murid, berpeluh-peluh, mengajar, mendidik, ceramah sampai berbusa, eh suatu ketika kita melihat salah satu siswa merokok di sekolah. Apa yang akan kamu rasakan? Pedih! Sakit! Kecewa! Sontak, Plak!
Tamparan itu bukan semata-mata kekerasan fisik belaka, melainkan ungkapan spontan atas kekecewaan yang dirasakan dalam hati yang perih melihat ternyata siswa yang dididiknya tidak menerapkan ilmu, ajaran, dan didikannya selama ini. Sang Guru pasti langsung mempertanyakan eksistensinya. Jadi, aku selama ini didengar gak sih? Aku selama ini diperhatikan gak sih? Ilmu dan didikan yang aku kasih sepenuh hati kepada siswa yang ku sayangi itu sampai gak sih? Kok kayanya nggak ya? Aku salah apa ya? Luapan emosi dan kesedihan jiwa seorang Guru melihat muridnya yang disayanginya ternyata berbuat salah secara spontan tersalurkan melalui tamparan.
Kalau dilihat dari sisi hukum, mungkin bisa jadi salah bahwa Guru menampar Murid. Akan tetapi, dari sisi moral, menurut saya, Guru tidak bisa disalahkan. Itu adalah hal yang spontanitas dilakukan karena bisa jadi Guru tersebut berpikir bahwa omongan sekali dua kali dan ribuan kali yang sudah dilakukannya di kelas, ternyata tidak membuahkan hasil, maka tamparan kasih sayang itu lah yang bisa jadi menyadarkannya. Alih-alih membuatnya sadar, justru sang Murid memperkarakan tindakan Sang Guru yang telah mendidiknya selama ini. Sang Guru yang merupakan Kepsek SMA 1 Cimarga itu pun di-nonaktifkan oleh
Gubernur Banten. Ironi.
(info terbaru, setelah berdamai, Kepsek tersebut tidak jadi dinonaktifkan, salut!)
Membela Seorang Penjahat adalah Solidaritas yang Sesat!
Oke, mungkin kata penjahat agak terlalu berlebihan di sini. Tapi, tetap saya gunakan agar sub judulnya masih berima "penjahat - sesat", hehe.
Anggaplah satu angkatan ada 200an siswa, berarti ada 3 angkatan yang mogok sekolah. 3 angkatan. Apa sih yang dipikirkan mereka saat melakukan aksi protes ini? Alur berpikir logikanya gimana sih?
Saya sudah mencoba berkali-kali menemukan justifikasi positif dari aksi protes ini, tapi tidak ada yang bisa masuk di akal. Coba kita bedah ya:
- X merokok di sekolah
- X ketahuan oleh Y
- X ditegur dan ditampar oleh Y
- X lapor orangtuanya lalu diperkarakan
- Siswa-siswi A, B, C, ... Z berpikir dan menyuarakan "Wah, teman kita ditampar Guru nih gara-gara merokok di sekolah. Teman kita boy! Cuma merokok di sekolah loh, kok sampai ditampar? Kita harus protes! Kita besok tidak usah ke sekolah! Kita mogok belajar sampai masalah ini selesai!"
Lucu banget gak sih? Lucu asli.
Ini sama saja kalian mendukung perbuatan X yang jelas salah dan menentang cara Guru mendidik muridnya. Jelas salah sekaligus lucu. Kalian beramai-ramai mendukung perbuatan salah melalui cara yang jelas salah dan merugikan kalian sendiri. Mogok belajar? Apa yang kalian dapatkan sebagai seorang pelajar atas aksi mogok belajar dari tempat belajar? Ya, ya tidak mendapatkan apa-apa lah! Justru kalian menunjukkan kebobrokan cara berpikir dalam menyikapi suatu permasalahan. Viral banget loh tindakan kalian ini. Tahu kan akibatnya kalau cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang salah menjadi viral di internet? Solidaritas yang sesat.
Akibat
Singkat saja, 630 siswa-siswi SMA 1 Cimarga sudah ditandai dan masuk daftar hitam untuk tidak diterima sebagai karyawan oleh kemungkinan hampir seluruh
HRD perusahaan di Indonesia. Iya, tiga angkatan di-blacklist dari calon tempat mereka bekerja. Bersiaplah untuk menjadi wirausahawan teman-teman.
Saya sebenarnya kasihan ya dengan mereka. Akibat dari solidaritas yang sesat, kalian justru mendapatkan efek domino yang luar biasa merugikan. Oke lah kalau kalian memang setelah lulus sekolah berencana melanjutkan bisnis keluarga, tapi yang lain bagaimana? Saya yakin sebagian besar dari siswa siswi yang sekolah di sana, setelah lulus mesti berharap bisa berkuliah dan bekerja di tempat yang bisa mengangkat derajat keluarga. Sekarang? Gimana? Masih ada harapan? Mungkin ada, kecil. Setiap perekrutan pekerja pasti ada yang namanya
background checking. Dilihat
track record-nya seperti apa, berasal dari sekolah mana,
"Eh, SMA 1 Cimarga nih. Yang dulu ikut-ikutan mendukung perbuatan merokok di sekolah itu ya? Reject!". Kebayang kan?
Akibat solidaritas yang sesat, diri sendiri yang termakan buah pahitnya.
Saya yakin, dari 630 murid tersebut, hanya segelintir anak yang sebenarnya ingin membela si perokok lalu memprovokasi teman-teman lainnya untuk juga melakukan aksi yang sama atas nama solidaritas. Pasti ada tuh teman-teman yang sebenarnya "dia baek" (kalau kata Bang Rico Grind Boys), tapi karena merasa tidak enak sama yang lain, jadinya ikut-ikutan. Ini nih, merasa tidak enak dengan yang lain ini yang jadi permasalahan.
Sering kali kita mengiyakan rasa tidak enak dengan yang lain untuk akhirnya ikut-ikutan melakukan perbuatan yang sebenarnya kita tidak mau melakukannya. Kalau perbuatannya positif sih masih oke lah ya. Misalnya, "Bro, yang lain nyumbang segini nih untuk kegiatan amal, masa lu nggak ikutan? Nyumbang yuk lah, 1000 2000 pun gak apa, masa gak punya?". Nah, itu masih oke tuh. Tapi, yang dilakukan sama 630 siswa ini kan tidak bisa kita benarkan. "Bro, temen kita ngerokok terus ditampar nih bro! Masa iya temen kita cuma karena ngerokok sampe ditampar? Gila apa tuh Guru! Yuk kita besok gausah masuk sekolah. Lu juga jangan masuk ya!". Kena deh.
Kita menjadi manusia itu harus berprinsip agar tidak mudah disetir oleh orang lain. Perbuatan salah yang dilakukan oleh banyak orang, tidak serta merta menjadikannya tindakan yang benar. Seribu orang yang melakukan suatu perbuatan tercela, tidak mengubah status tindakan tersebut menjadi terpuji. Jadi, kita harus memahami terlebih dahulu apa yang menjadi pokok permasalahan, lalu berpikir secara mendalam mana posisi yang seharusnya kita berpihak. Tidak ada salahnya ketika orang pergi berjalan ke arah barat, kita berjalan ke arah timur. Tidak ada yang salah kok kalau kita berbeda dengan yang lain. Lebih-lebih pada ranah perbuatan yang jelas salah. Kalau posisinya benar sih gak masalah ya, kita jadi termasuk golongan orang-orang yang benar. Tapi, kalau ternyata salah seperti ini? Siapa yang tanggung jawab? Provokator? Gak mungkin bos! Diri kita sendiri yang menanggung akibatnya. Jadi, berhati-hatilah dalam menentukan sikap dan pihak.

Satu hal lagi yang ingin saya bahas. Sekolah adalah tempat kita menimba ilmu. Orang yang menuntut ilmu akan diangkat derajatnya oleh Tuhan berkali-kali lipat. Banyak sekali orang yang di masa depannya menjadi bersinar karena pada masa sekarang dia sangat menghargai ilmu dan pemberinya. Sebaliknya, jika kita menodai kesucian dari ilmu, apalagi menyakiti sang pemberi ilmu yaitu Guru sebagai perantara sampainya ilmu pada kita, maka tak ayal derajat kita bisa dijatuhkan berkali-kali lipat oleh Tuhan. Contoh nyatanya adalah
630 siswa siswi SMA 1 Cimarga yang masuk daftar hitam HRD perusahaan di Indonesia. 630 murid tersebut akan kesulitan dalam mencari pekerjaan hanya karena membela teman yang melakukan perbuatan yang jelas salah. Dua hari mogok sekolah, bertahun-tahun efek negatifnya di masa depan.
Kritis dan protes boleh, bodoh dalam eksekusinya jangan.
Semoga kejadian ini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua, utamanya dalam bersikap.